Selasa, 31 Maret 2009 | 07:17 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com - Puluhan siswa kelas tiga SDN Sejahtera I, Kota Bandung, berhamburan keluar kelas ketika atap kelas mereka roboh, Senin (30/3) sekitar pukul 09.15. Padahal, bangunan itu baru saja selesai direhabilitasi dengan dana bantuan Pemprov Jawa Barat.

Tidak ada korban jiwa ataupun korban luka dalam peristiwa ini. Menurut Kepala SDN Sejahtera I, Supriyo, bangunan yang ambruk tersebut merupakan bangunan milik SDN Se­jahtera IV. Bangunan tersebut selesai direnovasi sekitar dua minggu lalu. ”Dananya dari dana role sharing (dana pembagian beban perbaikan ruang kelas) senilai Rp 320 juta,” tuturnya.

Dana Rp 320 juta yang semestinya digunakan untuk mere­habilitasi delapan ruang kelas, oleh pengelola SDN Se­jahtera IV justru digunakan untuk merehabilitasi 13 ruang ke­las dan bangunan pendukung. ”Dipakai juga untuk memperbaiki ruang perpustakaan, WC, dan rumah penjaga,” kata Supriyo.

Supriyo sendiri mengaku tidak bertanggung jawab mengelo­la dana itu. ”Kami (SDN Sejahtera I) hanya memakai kelas,” tuturnya.

Pembangunan ruang kelas ini menggunakan sistem swake­lola. Artinya, mulai tahap perencanaan hingga pengerjaannya diserahkan ke pihak sekolah. ”Kami (dinas) hanya melakukan pengawasan,” tutur Kepala Bidang Pendidikan TK dan SD Dinas Pendidikan Kota Bandung Ende Mutaqin di lokasi.

Ia mengakui, sistem swakelola ini memiliki kelemahan, khu­susnya dalam proses konstruksi. Sebab, dinas tidak bisa campur tangan dalam hal teknis pembangunan. Sebelum­nya peristiwa serupa terjadi di SDN Babakan Surabaya dan SDN Pasundan. Kedua sekolah ini juga tengah direnovasi dengan bantuan role sharing sistem swakelola. (Ant/yog)

Sumber: Kompas.Com
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/03/31/ 07171319/Atap.SD.Rubuh..Siswa.Kocar-kacir

KEGAGALAN GURU DALAM MELAKUKAN EVALUASI
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama (Penulis): afdheeE-mail (Penulis): afdhee@yahoo.com
Saya Mahasiswa di Pekanbaru
Judul: KEGAGALAN GURU DALAM MELAKUKAN EVALUASI
Topik: Evaluasi
Tanggal: 15 Mei 2007
KEGAGALAN GURU DALAM MELAKUKAN EVALUASI SETIAP AKHIR PROSES PEMBELAJARAN DALAM KELAS
http://www.re-searchengines.com/
Kalau kita perhatikan dunia pendidikan, kita akan mengetahui bahwa setiap jenis atau bentuk pendidikan pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan evaluasi. Artinya pada waktu-waktu tertentu selama satu periode pendidikan, selalu mengadakan penilaian terhadap hasil yang telah dicapai, baik oleh pihak terdidik maupun oleh pendidik. Demikian pula dalam satu kali proses pembelajaran, guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum, dan apakah materi pelajaran yang diajarkan sudah tepat. Semua pertanyaan tersebut akan dapat dijawab melalui kegiatan evaluasi atau penilaian. Dengan menelaah pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik dan memuaskan atau sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar. Dalam fungsinya sebagai penilai hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Khusus untuk mata pelajaran matematika hampir semua guru telah melaksanakan evaluasi di akhir proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun hasil yang diperoleh kadang-kadang kurang memuaskan. Kadang-kadang hasil yang dicapai dibawah standar atau di bawah rata-rata. Pada mata pelajaran yang lainnya kadang dilaksanakan pada akhir pelajaran, dan ada juga pada saat proses belajar mengajar berlangsung. Kapan waktu pelaksanaan evaluasi tersebut tidak menjadi masalah bagi guru yang penting dalam satu kali pertemuan ia telah melaksanakan penilaian terhadap siswa di kelas. Tetapi ada juga guru yang enggan melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran, karena keterbatasan waktu, menurut mereka lebih baik menjelaskan semua materi pelajaran sampai tuntas untuk satu kali pertemuan, dan pada pertemuan berikutnya di awal pelajaran siswa diberi tugas atau soal-soal yang berhubungan dengan materi tersebut. Ada juga guru yang berpendapat, bahwa penilaian di akhir pelajaran tidak mutlak dengan tes tertulis. Bisa juga dengan tes lisan atau tanya jawab. Kegiatan dirasakan lebih praktis bagi guru, karena guru tidak usah bersusah payah mengoreksi hasil evaluasi anak. Tetapi kegiatan ini mempunyai kelemahan yaitu anak yang suka gugup walaupun ia mengetahui jawaban dari soal tersebut, ia tidak bisa menjawab dengan tepat karena rasa gugupnya itu. Dan kelemahan lain tes lisan terlalu banyak memakan waktu dan guru harus punya banyak persediaan soal. Tetapi ada juga guru yang mewakilkan beberapa orang anak yang pandai, anak yang kurang dan beberapa orang anak yang sedang kemampuannya utnuk menjawab beberapa pertanyaan atau soal yang berhubungan dengan materi pelajaran itu. Cara mana yang akan digunakan oleh guru untuk evaluasi tidak usah dipermasalahkan, yang jelas setiap guru yang paham dengan tujuan dan manfaat dari evaluasi atau penialaian tersebut. Karena ada juga guru yang tidak mengiraukan tentang kegiatan ini, yang penting ia masuk kelas, mengajar, mau ia laksanakan evaluasi di akhir pelajaran atau tidak itu urusannya. Yang jelas pada akhir semester ia telah mencapai target kurikulum. Akhir-akhir ini kalau kita teliti di lapangan, banyak guru yang mengalami kegagalan dalam melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran. Hal ini tentu ada faktor penyebabnya dan apakah cara untuk mengatasinya. Penulisan makalah kritikan ini bertujuan untuk mengkritik kegagalan persekolah oleh guru dalam melakukan evaluasi di akhir pelajaran. Mencari faktor penyebabnya dan cara untuk mengatasinya. Dalam makalah kritikan ini pembatasan masalahnya adalah : - Kondisi permasalahan evaluasi di akhir pelajaran dipersekolahan pada saat ini - Telaah teori/pendapat ahli - Kegagalan pelaksanaan evaluasi di akhir pelajaran - Kesimpulan kritikan dan saran Menurut Drs. Moh. Uzer Usman dalam bukunya (Menjadi Guru Profesional hal 11) menyatakan bahwa : Tujuan penilaian adalah : 1. Untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan 2. Untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran 3. Untuk mengetahui ketepatan metode yang digunakan 4. Untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelompok/kelas 5. Untuk mengaklasifikasikan seorang siswa apakah termasuk dalam kelompok yang pandai, sedang, kurang atau cukup baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Dan menurut buku Mengukur Hasil Belajar (hal 72-74) yang di susun oleh Drs. Azhari Zakri menyatakan evaluasi bermanfaat bagi guru untuk : 1. Mengukur kompetensi atau kapabalitas siswa, apakah mereka telah merealisasikan tujuan yang telah ditentukan. 2. Menentukan tujuan mana yang belum direalisasikan sehingga dapat menentukan tindakan perbaikan yang cocok yang dapat diadakan 3. Memutuskan ranking siswa, dalam hal kesuksesan mereka mencapai tujuan yang telah disepakati. 4. Memberikan informasi kepada guru tentang cocok tidaknya strategi mengajar yang digunakan. 5. Merencanakan prosedur untuk memperbaiki rencana pengajaran dan menentukan apakah sumber belajar tambahan perlu digunakan. 6. Memberikan umpan balik kepada kita informasi bagi pengontrolan tentang sesuai tidaknya pengorganisasian belajar dan sumber belajar. 7. Mengetahui dimana letak hambatan pencapaian tujuan tersebut. Atas dasar ini, faktor yang paling penting dalam evaluasi itu bukan pada pemberian angka. Melainkan sebagai dasar feed back (catu balik). Catu balik itu sendiri sangat penting dalam rangka revisi. Sebab proses belajar mengajar itu kontinyu, karenanya perlu selalu melakukan penyempurnaan dalam rangkan mengoptimalkan pencapaian tujuan. Bila evaluasi merupakan catu balik sebagai dasar memperbaiki sistem pengajaran, sesungguhnya pelaksanaan evaluasi harus bersifat kontinyu. Setiap kali dilaksanakan proses pangajaran, harus dievaluasi (formatif). Sebaliknya bila evaluasi hanya dilaksanakan di akhir suatu program (sumatif) catu balik tidak banyak berarti, sebab telah banyak proses terlampaui tanpa revisi. Oleh karena itu, agar evaluasi memberi manfaat yang besar terhadap sistem pengajaran hendaknya dilaksanakan setiap kali proses belajar mengajar untuk suatu topik tertentu. Namun demikian evaluasi sumatif pun perlu dilaksanakan untuk pengembangan sistem yang lebih luas. Dari tujuan dan manfaat evaluasi yang di atas, masih ada pendapat lain dari manfaat evaluasi seperti yang dikemukakan oleh Noehi Nasution dalam bukunya Materi Poko Psikologi Pendidikan hal 167, menjelaskan bahwa kegiatan penilaian tidak hanya untuk mengisi raport anak didik, tetapi juga untuk : 1. Menseleksi anak didik 2. Menjuruskan anak didi 3. Mengarahkan anak didik kepada kegiatan yang lebih sesuai denganpotensi yang dimilikinya.4. Membantu orang tua untuk menentukan hal yang paling baik untuk anaknya, untuk membina dan untuk mempersiapkan dirinya untuk masa depan yang lebih baik. Dari tujuan dan manfaat evaluasi yang telah diikemukakan oleh para ahli di atas, yang penting dengan mengadakan evaluasi sebagai guru dapat mengetahui kelemahan-kelemahan atau kekurangannya dalan menyampaikan materi pelajaran. Sehingga ia dapat menata kembali atau menggunakan strategi baru dalam proses pembelajaran sehingga akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Di dalam telaah teori dan berdasarkan pendapat para ahli, telah mencantumkan tujuan serta manfaat evaluasi di akhir pelajaran. Selain menilai hasil belajar murid, evaluasi juga menilai hasil mengajar guru dengan kata lain, guru dapat menilai dirinya sendiri dimana kekurangan dan kelemahannya dalam mengajar, sehingga memperoleh hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika dalam suatu kegiatan belajar, tujuan sudah diidentifikasi, biasanya dapat disusun suatu ters atau ujian yang akan digunakan untuk menentukan apakah tujuan tersebut dicapai atau tidak. Mager pernah mengatakan bahwa jika kita mempelajari dengan teliti semua tahap yang telah dibicarakan sampai saat ini, maka siswa sudah harus dapat melakukan apa yang telah direncanakan untuk mereka lakukan. Hasil dari penialaian dapat mendorong guru untuk memperbaiki keterampilan profesional mereka, dan juga membantu mereka mendapat pasilitas serta sumber belajar yang lebih baik. Di dalam suatu tes belajar, sebagian besar nilai berdistribusi normal (yakni beberapa murid hasilnya baik, beberapa buruk, tetapi sebagian besar menunjukkan rata-rata). Dalam ter kriteria, sebagian tes berada di bagian atas. Hal ini lumrah, karena jika seorang guru memberikan tujuan yang berjumlah 10, misalnya, maka ia akan kecewa jika para siswa hanya merealisasikan 50% saja. Tes dan ujian yang mengukur pencapaian tujuan, belum mendapat perhatian yang serius oleh guru dan instruktur, kecuali akhir-akhir ini. Program pendidikan dan latihan sebelum ini telah dianggap sudah berhasil tanpa perlu ada evaluasi. Sikap ini disebabkan oleh empat kesulitan utama yakni : 1. Tidak adanya kerangka konseptual yang sesuai bagi evaluasi. 2. Kurangnya ketepatan dalam perumusan tujuan dalam pendidikan 3. Kesulitan yang meliputi pengukuran pendidikan 4. Sifat program pendidikan itu sendiri. Namun dengan adanya investasi besar-besaran dalam pendidikan, telah dirasakan kebutuhan akan suatu bentuk evaluasi. Evaluasi dapat mengambil dua macam bentuk : 1. Ia dapat menilai cara mengajar seorang guru (dengan mengukur variabel-variabel seperti suatu kebiasaan-kebiasaan, humor, kepribadian, penggunaan papan tulis, teknik bertanya, aktivitas kelas, alat bantu audiovisual, strategi mengajar dan lain-lain. 2. Ia dapat menilai hasil belajar (yakni pencapaian tujuan belajar. Selama ini guru mengadakan penilaian hanya untuk mencari angka atau nilai untuk anak didik. Apabila anak banyak memperoleh nilai dibawah 6 (enam), maka guru menganggap bahwa anak didiklah yang gagal dalam menyerap materi pelajaran atau materi pelajaran terlalu berat, sehingga sukar dipahami oleh anak. Kalau anak yang memperoleh nilai dibawah 6 mencapai 50% dari jumlah anak, hal ini sudah merupakan kegagalan guru dalam melaksanakan evaluasi di akhir pelajaran. Apa penyebab hal ini bisa terjadi ? 1. Guru kurang menguasi materi pelajaran. Sehingga dalam menyampaikan materi pelajaran kepada anak kalimatnya sering terputus-putus ataupun berbelit-belit yang menyebabkan anak menjadi bingung dan sukar mencerna apa yang disampaikan oleh guru tersebut. Tentu saja di akhir pelajaran mareka kewalahan menjawab pertanyaan atau tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan. Dan akhirnya nilai yang diperoleh jauh dari apa yang diharapkan. 2. Guru kurang menguasai kelas, Guru yang kurang mampu menguasai kelas mendapat hambatan dalam menyampaikan materi pelajaran, hal ini dikarenakan suasana kelas yang tidak menunjang membuat anak yang betul-betul ingin belajar menjadi terganggu. 3. Guru enggan mempergunakan alat peraga dalam mengajar. Kebiasaan guru yang tidak mempergunakan alat peraga memaksa anak untuk berpikir verbal sehingga membuat anak sulit dalam memahami pelajaran dan otomatis dalam evaluasi di akhir pelajaran nilai anak menjadi jatuh. 4. Guru kurang mampu memotivasi anak dalam belajar sehingga dalam menyampaikan materi pelajaran, anak kurang menaruh perhatian terhadap materi yang disampaikan oleh guru, sehingga ilmu yang terkandung di dalam materi yang disampaikan itu berlalu begitu saja tanpa ada perhatian khusus dari anak didik. 5. Guru menyamaratkan kemampuan anak di dalam menyerap pelajaran. Setiap anak didik mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menyerap materi pelajaran. Guru yang kurang tangkap tidak mengetahui bahwa ada anak didinya yang daya serapnya di bawah rata-rata mengalami kesulitan dalam belajar. 6. Guru kurang disiplin dalam mengatur waktu. Waktu yang tertulis dalam jadwal pelajaran, tidak sesuai dengan praktek pelaksanaannya,. Waktu untuk memulai pelajaran selalu telat, tetapi waktu istirahat dan jam pulang selalu tepat atau tidak pernah telat. 7. Guru enggan membuat persiapan mengajar atau setidaknya menyusun langkah-langkah dalam mengajar, yang disertai dengan ketentuan-ketentuan waktu untuk mengawali pelajaran, waktu untuk kegiatan proses dan ketentuan waktu untuk akhir pelajaran. 8. Guru tidak mempunyai kemajuan untuk nemambah atau menimba ilmu misalnya membaca buku atau bertukar pikiran dengan rekan guru yang lebih senior dan profesional guna menambah wawasannya. 9. Dalam tes lisan di akhir pelajaran, guru kurang trampil mengajukan pertanyaan kepada murid, sehingga murid kurang memahami tentang apa yang dimaksud oleh guru. 10. Guru selalu mengutamakan pencapaian target kurikulum. Guru jarang memperhatikan atau menganalisa berapa persen daya serap anak terhadap materi pelajaran tersebut

02/08/2006
OPINI: UJIAN NASIONAL DAN KELULUSAN SISWA? (Orang Miskin dilarang Pintar)
by : Syamsul Bahri
www.pendidikan.net

Menceramati dan memperhatikan Pendidikan di Indonesia, timbulnya suatu permasalahan yang menjadi permasalahan nasional, terutama menyangkut standar kelulusan siswa baik yang masuk SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi dan lain-lain, kelulusan Siswa tidak ditentukan oleh guru yang memantau dan mendidik serta membimbing dan membina anak didik selama 3 tahun dalam proses belajar dan mengajar, tetapi cukup ditentukan oleh Standar Ujian Nasional yang lebih dikenal dengan UN dengan 3 materi pelajaran, sesuatu hal yang tidak logis, untuk menilai seseorang mampu dan tidak mampu hanya dari satu aspek, sedangkan intelektual yang bermoral merupakan proses yang diamati dan dinilai oleh orang yang membimbing, orang yang membina di sini peran guru dikebirikan. Sesuai UU No.20 Tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional Bab XVI pasal 57 ayat (2) evaluasi dilakukan kepada peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan informal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan, sedangkan pasal 58 ayat (1) evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh Pendidik untuk memantau proses kemampuan dah perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan dan pasal 1 ayat (17) standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistim pendidikan di seluruh wilayah NKRI. Di sinilah permasalahan Pendidikan di Indonesia, yang memunculkan beberapa pertanyaan terhadap kelulusan siswa antara lain (1) Kelulusan hanya ditentukan oleh 3 materi Ujian Nasional, sedangkan, materi lain dan keaktifan serta intelektual lainnya tidak dinilai, akan memunculkan materi lain dianggap tidak perlu, sedangkan materi lain tersebut merupakan faktor penting dalam menumbuh kembangkan intelektualitas yang bermoral dalam mencapai tujuan pendidikan nasioanal sebagai mana amanat pembukaan UUD 1945; (2) sesuai pasal 57 ayat 1 dan pasal 1 ayat (17) sudahkah dilakukan pemantuan terhadap kelayakan proses pendidikan untuk mengacu standar Nasional pendidikan, hasil akhir bermuara kepada peserta didik terutama menyangkut sandar kebutuhan minimal secara komprehensif dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal lembaga pendidikan tersebut antara 1. Sarana dan parasana Pendidikan, 2. Pendidik, 3. Penerimaan arus informasi dan buku 4. lingkungan pendidikan, 5.Peran serata masyarakat 6. dll. Sesuai pasal 58 ayat (1) UU No.20 Tahun 2003 yang mengavaluasi dan memantau proses intelektual anak didik adalah pendidik, jelas kontribusi dan peran guru dalam penentuan kelulusan anak didik sangat penting dan besar, karena sang pahlawan tanpa tanda jasa yang melihat, mendidik, membina mental dan intelektual anak didik selama berada di lembaga pendidikan terkesan di kebirikan. Pasal 35 ayat (1) dalam penjelasan ?kompetensi kelulusan adalah merupakan kualifikasi kemampauan kelulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan ketrampilan?, di sini jelas bahwa kelulusan tidak bisa ditentukan oleh 3 materi ujian nasional, karena sikap, kemampuan dan ketrampilan yang hanya diketahui oleh Pendidik/guru tidak dinilai oleh Ujian Nasional, kembali lagi peran pendidik dikebirikan. Pasal 37 materi wajib yang harus diakomodir dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah memuat Pendidikan Agama, PKN, Bahasa, Matematika, IPA, IPS, Seni dan Budaya Penjas, Ketarmpilan dan jasa, muatan local, kata ? wajib? merupakan suatu bentuk yang wajib diajarkan kepada anak didik, konsekwenasinya materi tersebut menjadi indicator sebuah kelulusan anak didik, kenyataan hanya 3 materi yang menjadi indikator kelulusan nasional. Bahwa kondisi bangunan sekolah dan pendidikan nasional di Indonesia belum bisa distandarisasikan, karena bangunan yang sudah tidak layak, kinerja guru perlu ditingkatkan, konsekwensi motivasi guru sebagai pendidik perlu ditingkatkan, baik gaji/tunjangan, pendidikan, sarana dll, geografis dan budaya, arus informasi dll. Sehingga standarisasi harusnya melalui perlakuan dan penilaian yang sama dalam semua aspek, kenyataan aspek-aspek belum standar, sehingga standar nasional belum bisa dilaksanakan, namun pihak Diknas melalui proses harus melengkapi semua persyaratan yang diamanatkan oleh UU, baik sarana maupun prasarana serta ketentuan operasional serta proses sosialisasi. Kenyataan dan fakta tersebut, bahwa Ujian Nasional bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2003, yang membawa dampak pada pembodohan bangsa, dan bertentangan dengan amanat pembukaan UUD 1945. Berdasarkan UUNo.14 Tahun 2005, tentang Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa salah satu hak guru dan dosen memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukkan kelulusan, jelas dalam UU ini, yang memberikan penilaian objectif terhadap kelulusan anak didik adalah guru. sedangkan UN peran-peran guru tidak ada, ini menyatakan bahwa UN bertentangan dengan UU No. 14 tahun 2005, di mana Pemerintah dalam hal ini Kementerian DIKNAS penginterpensi lembaga pendidikan atau mengambil hak pedagogis sang pahlawan tanpa tanda jasa. Profesi guru, dalam penyelengaraan UN tidak dihargai sebagai suatu tugas mulia untuk mencerdaskan bangsa. Kalau kita lihat fakta yang faktual, justru kota-kota dengan standar minimal telah terpenuhi baik sarana dan prasarana, pendidik, arus informasi yang banyak menderita akibat ujian nasional, pertanyaan Sadarkah Bapak Menteri Pendidikan nasional dan jajarannya, dengan kondisi ini? Dampak lain, siswa yang berasal dari ekonomi kurang mampu dan lulus dengan standar nasional, namun belum bisa melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi, karena NEM yang belum memenuhi standar penerimaan di Sekolah yang lebih tinggi, tidak bisa melanjutkan, tetapi siswa yang berasal dari ekonomi mampu bisa melanjutkan ke sekolah lain terutama swasta dengan biaya tinggi, di samping itu, bagaimana dengan siswa yang belum bisa ditampung pada seleksi PSB dan SPMB tahun 2006/2007, sekolah swasta dengan biaya tinggi, tentunya menjadi permasalahan, bukan karena tidak mampu secara akademis, tetapi sistim yang dibuat membuat mereka tidak mampu, bahkan banyak siswa yang telah dinyatakan lulus jalur PMDK, dan beasiswa ke Luar Negeri tetapi tidak lulus UN, kenyataan ini indikasi memperkuat ?bahwa orang miskin dilarang pintar?.
(By Syamsul Bahri, SE alamat email : bahritnks@telkom.net)

Judul: BELAJAR BERFIKIR DENGAN MELIBATKAN OPERASI MENTAL
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah bagian KESISWAAN / STUDENTS & LEARNING.
Nama & E-mail (Penulis): Mickaus Gombo, S.Pd
Saya Dosen di STKIP YPPGI Abdi Wacana
Topik: BELAJAR BERFIKIR DENGAN MELIBATKAN OPERASI MENTAL
Tanggal: 21 Juli 2008

www.re-searchengines.com


BELAJAR BERFIKIR DENGAN MELIBATKAN OPERASI MENTAL BY: MICKAUS GOMBO, S.Pd Penulisnya adalah pemerhati pendidikan dan praktisi pendidikan Jika kita duduk sejenak dan mengamati kondisi perkembangan pendidikan yang ada dinegara kita dan lebih terutama pada hasil belajar dari peserta didik pada berbagai jenjang pendidikan, maka dapat disayangkan. Mengapa demikian, karena dari sekian tadik yang tersebar dan menekuni diberbagai jenjang pendidikan jika dievaluasi hasilnya, maka hampir ¼ % persen dari suatu jenjang pendidikan yang dapat memperoleh predikat kelulusan yang dikelompokkan bagus (memuaskan) dan selanjut sebagian itu hanya selesai dengan kemampuan dibawah rata-rata dari standar yang diharapkan oleh masing-masing lembaga pendidikan berdasarkan standar nasional. Untuk mengetahui faktor penyebab turunnya mutu pendidikan yang ada maka letaknya ternyata pada: 1. Faktor Guru Dalam hal ini guru harus memiliki peran ganda.Maksudnya guru harus inovatif, yaitu mencari dan terus mencari hal-hal baru ( current ivent case ) untuk membekali diri dalam mendayung awal kepada peserta didik sebagai tumpangannya. Sebagai guru dalam hal ini ibarat seperti pendayung perahu dan siswa sebagai tumpangannya, sehingga guru harus mendayung dan guru tersebut mencari metode-metode dan kaidah-kaidah secara tepat, agar perahu yang didayung segera ke tepi danau atau sungai. Dimaksudkan oleh penulis adalah guru harus menjadi seorang model yang baik, agar siswa dapat meniru dan memberikan spirit dengan gaya pribadinya. Guru diharapkan juga menjadi sumber referensi hidup (Life Reference sourch) dimana guru minimal mampu menjadi sumber inspirasi pendidikan dan berusaha selalu menanam budaya membaca dan berusaha menulis serta mengkaji setiap peristiwa yang berhubungan dengan profesi dirinya. Adapun beberapa tips atau tugas guru/pengajar yang harus dilakukan yaitu: a. Ajari dan melatih siswa untuk bagaimana siswa itu dapat membaca suatu naskah atau suatu pertanyaan secara sistematis bukan impulsif. Mengapa demikian? Karena siswa tidak membaca secara sistematis, maka apa yang dibaca tidak akan dipahami secara baik dan akhirnya tidak dapat memberi jawaban, kesimpulan serta keputusan yang pasti(benar). Saya selaku pengajar dalam bidang studi matematika saya coba hendak memberi contoh berdasarkan hasil pengalaman mengajar dibawah ini, yaitu tadik selain mengenal dan menghafal model, kami juga melatih dan mengajarkan bagaimana mereka mengoperasikan mental mereka kedalam mencari atau memecahkan suatu masalah. Selain diajarkan operasi mental mereka, juga mengajarkan metode serta kaidah-kaidah yang berhubungan dengan content materi. Contoh dalam matematika seperti ini. Saya beri persamaan linear seperti . Dan bentuk seperti ini banyak guru matematika hanya memperkenalkan tentang bentuk/model saja, tanpa memperkenalkan atau menjelaskan maksud yang terkandung pada simbol-simbol persamaan linear itu, maka hal ini kebanyakan tadik tidak mengetahuinya. Maka dalam tulisan ini saya berikan usul kita mengajak siswa bahwa simbol yang kita sebut dengan variabel x itu merupakan mewakili dari suatu benda atau suatu ide. Saya usul pula kepada pengajar siapun, jikalau mejelaskan kepada tadik harus mengatakan bahwa jika kita menulis hal seperti itu membutuhkan waktu dan tempat, sehingga cukup mewakilkan dengan suatu huruf yang kita sebut dengan variabel/peubah, agar mereka tidak menghafalkan letak dan susunan serta lambangnya saja, tetapi terlebih dari itu mereka harus mengetahui makna yang tersirat dalam lambang-lambang itu. Dengan demikian konsep matematika dapat dipahami secara benar dan baik oleh tadik. Misalkan benda itu seperti ini: 1 ikat kangkung tambah 2 ikat kangkung tambah 3 ikat kangkung Supaya lebih mudah, cukup kita wakilkan kangkung dengan huruf x Jika ide diatas kami susun secara matematis dengan simbol tertentu, maka susunannya seperti dibawah ini: 1.x + 2.x + 3.x atau X + 2X + 3X dengan keterangan sebagai berikut: X = Variabel X; X = banyaknya nama jenis ikatan kangkung 1,2,3 = konstanta banyaknya ikatan kangkung. Contoh lain: Melihat suatu barisan dengan pola dan kaidah tertentu seperti ini. 1, 2, 4, 8, ... , .....; Maksudnya supaya bagaimana tadik menemukan solusi dengan cara melibatkan operasi mental. Operasi mental ini tak dapat berdiri sendiri, namun dalam operasi mental seseorang harus diawali dengan pola-pola tertentu secara logis dan sistematis serta digunakan dengan metode-metode tertentu sesuai dengan skop pembicaraan/pembahasan. Pola diatas dapat dilihat lebih lanjut seperti ini; 1x2=2, 2x2=4, 2x4=8,....,2x16=32, dst. Selanjut menemukan suatu ide baru yang disebut dengan mewakili seperti yang kami singgung diatas. Bentuk ide seperti inilah disebut rumus/formula. Berdasarkan pola penyelesaian diatas dapat ditetapkan rumus seperti dibawah ini: n x 2 = ..., n bisa diganti dengan apa saja entah bilangan atau sesuatu yang lain dengan keterangan jelas serta mempunyai kondisi atau persyaratan tertentu supaya mempunyai nilai dan arti. Dalam pemecahan-pemecahan ini peserta didik kerap kali menggunakan metode-metode tertentu sesuai dengan sifat materi dan dalam hal seperti ini disebut �?o Algoritma �?o ( W.S.Winkel 16:1987 ) 2. Faktor Fasilitas Faktor fasilitas juga dapat mempengaruhi pembentukan pikiran tadik, sebab dimana fasilitas yang memadai proses Belajar mengajarpun dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Sebab kondisi fasilitas yang dapat membentuk pribadi dalam mengundang motivasi dan minat belajar semakin meningkat. Fasilitas yang dimaksudkan oleh penulis disini adalah baik itu sarana maupun prasarana yang ada pada tempat belajar siswa atau tadik itu sendiri. Misalkan dalam mempelajari IPA harus ada LAB IPA, dengan tujuan agar mempelajari sesuatu hanya dengan ceritera atau teori saja sulit dipahami serta sulit dibayangkan penjelasan guru, maka perlu adanya kegiatan nyata dengan cara mengekspose benda yang diceritera atau dijelaskan kepada tadik. Dengan cara mereka melihat, meraba, atau mencium mereka dapat membayangkan dan menghubungkan pikiran-pikiran yang pernah pelajari atau pernah melihat sebelumnya dengan benda yang ia melihat sekarang. Disinilah peserta didik dapat memperoleh pengalaman belajar baru yang lebih komplite, maka secara tidak langsung proses operasi pembentukan mental sedang terjadi saat itu juga. 3. Faktor Kesiapan MENTAL Tadik Selain kedua faktor diatas adapula satu faktor yang sangat mempengaruhi dalam pembentukan pikiran dengan melibatkan operasi mental, yaitu faktor kesiapan oleh para warga belajar atau siswa itu sendiri, sebab perlu diketahui bahwa peserta didik ibarat seperti ember kosong yang siap diisi air dan metode/pendekatan hanya sebagai corong yang menghubungkan, serta guru ibarat sebagai mesin penggeraknya. Dengan demikian tadik siap memfokuskan pikiran ketika guru menjelaskan atau menyiram pelajaran yang disiapkan oleh guru itu sendiri. Dalam hal ini guru diharapkan mencari metode-metode dan pendekatan untuk membangkitkan motivasi dan minat pada bidang yang ditekuninya. Untuk lebih menarik dan tidak membosankan kami menyisipkan sebuah proses secara skematis dibawah ini.

Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.
Nama & E-mail (Penulis): Tito Irianto
Saya Masyarakat di Bandung
Tanggal: 1-06-2001 Judul Artikel: Pendidikan Lingkungan Hidup, Khususnya Lingkungan Alam Untuk Siswa Sekolah
Topik: Pendidikan Lingkungan Alam Untuk Siswa Sekolah
www.re-searchengines.com

Sudah saatnya anak-anak sekolah, baik itu anak Sekolah Menengah Umum, Sekolah Menengah Pertama maupun Sekolah Dasar, diajarkan masalah lingkungan hidup, khususnya lingkungan alam. Saya mencoba keluar masuk kesekolah-sekolah, baik itu SMU, SMP maupun SD, ada kecenderungan mereka sangat rendah sekali kepeduliannya terhadap lingkungan alam. Hal ini sungguh sangat disayangkan.
Saya tidak akan menyalahkan siapapun dalam hal ini, karena memang kita semua punya andil kesalahan yang membuat anak-anak itu kurang sekali kepeduliannya terhadap lingkungan alam, tidak terlepas juga saya yang berkiprah dalam kegiatan dilingkungan hidup.
Untuk mengatasi hal itu, saya sudah mencoba mengajak beberapa sekolah yang ada di Bandung untuk berpartisipasi dalam penanganan hal tersebut.
Beberapa LSM yang bergerak di bidang lingkungan dan Kelompok Pecinta Alam yang banyak sekarang ini, saya ajak, supaya mereka pro-aktif menawarkan program-programnya yang sifatnya gratis dan tidak membebankan pada pihak Sekolah.
Karena dengan hal tersebut mudah-mudahan pendidikan lingkungan ini akan mencapai sasarannya secara tepat.

Oleh : Administrator
Penulis: Uhay dan Irine Puspita (Guru SLB Negeri Subang) www.plbjabar.com
Memasuki lingkungan baru selalu menjadi problema bagi semua orang. Apalagi bagi mereka yang mempunyai kebutuhan khusus yang diakibatkan oleh kelainan. Termasuk anak tunanetra. Baik bagi mereka yang baru masuk sekolah, maupun bagi merekayang sudah bersekolah. Persoalan berat akan sangat terasa bagi mereka yang barupertama kali memasuki dunia sekolah. Beragam kesan dan rasa muncul pada dirinya.Umumnya lingkungan baru memberikan rasa tidak nyaman bagi anak tunanetra, kadangdibarengi dengan ketakutan-ketakutan yang sangat berlebihan. Setiap langkah yangditapaki anak tunanetra menjadi masalah baginya. Teman yang menghampiri, menjadiseseorang yang amat asing untuk dikenalnya. Ia akan menarik diri jika ada yang inginberkenalan dengannya. Sikap egois, cepat marah, mudah curiga, takut terhadaplingkungan baru, dan sebagainya. Jelasnya, anak tunanetra kurang dapat melakukaninteraksi sosial yang memuaskan atau interaksi sosialnya mengalami keterbatasan.Keadaan ini tentunya menimbulkan persoalan tidak saja bagi sang siswa, tetapi jugabagi guru dan teman-teman di lingkungan sekitarnya.Interaksi merupakan perhatian timbal balik antara dua orang atau lebih terhadapsuatu objek atau orang ke tiga. Perhatian timbal balik ini sering kali direspondengan isyarat, ujaran atau tindakan. Soerjono Soekanto (1986: 51) mengutip pendapatYoung dan Raymond dan Gillin dan Gillin menjelaskan, bahwa: “Interaksi sosialmerupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antaraorang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orangperorangan dengan kelompok manusia.”Anak tunanetra memiliki ganguan fungsi penglihatan baik sebagian atau seluruhnya,sehingga menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan dirinya, seperti: padaperkembangan kognitif, perkembangan akademik, perkembangan orientasi dan mobilitasserta perkembangan sosial dan emosi. Hal ini mengakibatkan anak tunanetra dalammenjalankan perannya sebagai makhluk sosial seringkali mengalami hambatan-hambatan.Ini dikarenakan anak tunanetra kurang mampu memiliki persyaratan-persyaratannormatif yang dituntut dari lingkungannya, misal: kemampuan untuk menyesuaikan diridalam bergaul, cara menyatakan terimakasih, saling menghormati, kemampuan dalamberekspresi, cara melambaikan tangan, dan lain-lain.Adanya perubahan lingkungan baru bagi anak tunanetra memberikan benturan-benturan,yang dapat mengakibatkan hal-hal yang menyenangkan atau mengecewakan. Anak tunanetraharus dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian sosial dalam lingkungan sekolah. Bagianak tunanetra hal ini sangatlah sulit, karena anak harus menyesuaikan diri denganlingkungan yang baru di sekolah, baik secara pasif maupun secara aktif.Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku sosial dalamberinteraksi dengan lingkungan, mereka harus mampu memanfaatkan alat indera lain.Alat indera yang dapat dikembangkan seperti: pendengaran, perabaan, penciuman danpengecap. Hal ini sebagai upaya memperlancar interaksi sosial dengan lingkungannya,walaupun hasilnya tidak sebaik dan selengkap jika dibarengi dengan adanya inderapenglihatan.Selain itu, adanya kesiapan mental anak tunanetra untuk memasuki lingkungan baruatau kelompok lain yang berbeda, akan sangat baik dalam pengembangan sosialnya.Sebaliknya, ketidaksiapan mental anak untuk masuk ke dunia baru sering mengakibatkananak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan interaksi sosialnya. Jikakegagalan dianggap sebagai tantangan dan merupakan pengalaman yang terbaik, maka halini akan menjadi modal utama untuk memasuki lingkungan baru berikutnya. Namunapabila kegagalan tersebut merupakan ketidakmampuan, maka akan timbul rasafrustasi/putus asa, menarik diri dari lingkungan.Keterbatasan interaksi sosial pada anak tunanetra patuh dipahami oleh semua pihak,terutama orang tua dan guru. Orang tua dan guru berkewajiban mengupayakan agarinteraksi sosial yang dimiliki anak tunanetra dapat ditingkatkan. Guru mempunyaiperanan penting dalam menghadapi anak tunanetra agar mampu berinteraksi denganlingkungan di sekolah, sebab guru sebagai orangtua di sekolah yang harus siapmelayani pendidikan anak tunanetra dengan segala bentuk kekurangannya, khususnyadalam mengembangkan kemampuan interaksi sosial anak tunanetra di Sekolah LuarBiasa.Faktor-faktor yang dapat menghambat interaksi anak tunanetra ketika berada disekolah yaitu:1. Pengalaman buruk yang diterima sebelum berada di sekolah.2. Mobilitas yang belum terlatih, sehingga memunculkan keraguan pada diri anak untukmelakukan kontak sosial dan komunikasi.3. Persepsi yang ditanamkan orang-orang terdekat terhadap kontak sosial.4. Minat yang dimiliki anak tunanetra.5. Peran individu lain di lingkungan sekitarnya terhadap kehadiran dirinya.Interaksi sosial anak tunanetra di Sekolah Luar Biasa juga dipengaruhi olehperbedaan kepribadian dan kecakapan yang dimiliki anak. Dalam hal ini, guru memilikiperan yang sangat besar untuk terlibat dalam interaksi sosial anak tunanetra disekolah. Peran yang dilakukan guru yaitu, mengadakan hubungan dengan guru-guru lain,teman-teman seusia dan orang lain yang ada disekitar lingkungan sekolah. Pengalamandalam berinteraksi di lingkungan rumah yang dibimbing orang tua, juga sangatmenentukan kepribadian dan kecakapan anak tunanetra pada saat berada di sekolah. Sekolah memiliki norma-norma dan aturan-aturan yang berbeda dengan norma-norma danaturan-aturan yang berlaku di rumah. Di sekolah anak tunanetra akan dihadapkan padaberbagai aturan dan disiplin yang berlaku pada lingkungannya. Masa transisi dariorientasi lingkungan keluarga ke sekolah tidaklah mudah. Hal ini sering menimbulkanmasalah pada anak tunanetra. Ketidaksiapan mental anak tunanetra dalam menghadapilingkungan baru di sekolah atau kelompok lain yang berbeda, seringkali mengakibatkangagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. Apabila kegagalan tersebut dihadapipada suatu kenyataan dan tantangan, maka hal ini biasanya menjadi modal utama dalammenghadapi lingkungan yang baru. Namun jika kegagalan dihadapi sebagai suatuketidakmampuan, maka sikap-sikap ketidakberdayaan yang akan muncul menumpuk menjadisebuah rasa putus asa yang mendalam dan akhirnya menghindari kontak sosial.Pengalaman sosial yang dimiliki seseorang dapat menentukan daya yang memungkinkanseseorang dapat menguasai lingkungan, penguasaan diri atau hubungan antara keduanya.Adanya kehilangan fungsi penglihatan pada anak akan mengakibatkan terjadinyaketerpisahan sosial. Anak dengan ketunanetraan seringkali mengalami kesulitan untukmenyelaraskan tindakannya pada situasi yang ada. Keterbatasan kemampuan yangdimiliki membuat anak tunanetra merasa terisolasi dari orang-orang normal, ataudapat menimbulkan perasaan minder, bimbang, ragu, tidak percaya diri, jika beradadalam situasi yang tidak dikenalnya.Situasi dan aktivitas di sekolah bagi anak tunanetra yang hanya beberapa jam dalamsehari, sesungguhnya menggantikan posisi keluarga. Peran orang tua diganti olehbapak/ibu guru, peran saudara diganti oleh teman-teman, dan sebagainya. Sedangkankontak sosial dan komunikasi di sekolah terjadi di dalam dan di luar kelas.Interaksi yang terjadi di dalam kelas berlangsung antara guru dengan siswa, dansiswa dengan siswa. Supaya kontak dan komunikasi berjalan lancar, maka setiap wargasekolah harus memahami dalam situasi mana interaksi itu berlaku. Pemahaman dariseluruh warga sekolah dapat membantu anak tunanetra untuk bisa melakukan kontaksosial seperti yang diharapkan. Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakanprogram bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu anak tunanetra agarmampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral,spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Melalui program bimbingan,pengajaran, dan latihan anak tunanetra mendapatkan perhatian khusus dalam halinteraksi sosial di sekolah. Dalam hal ini, guru memiliki peran yang besar, agaranak tunanetra memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan individu lain yangberada di sekitar sekolah. Guru membimbing anak tunanetra secara bertahap,disesuaikan dengan dasar pengalaman anak tunanetra ketika berada dalam lingkunganrumahnya.Program bimbingan, pengajaran, dan latihan di sekolah yang berkaitan dengankebutuhan interaksi sosial anak tunanetra dapat diberikan guru dalam bentuk:1. Bimbingan untuk mengenal situasi sekolah, baik dari sisi fisik bangunan maupundari sisi interaksi orang per-orang.2. Menumbuhkembangkan perasaan nyaman, aman, dan senang dalam lingkungan barunya.3. Melatih kepekaan indera-indera tubuh yang masih berfungsi sebagai bekal pemahamankognitif, afektif dan psikomotornya.4. Melatih keberanian anak tunanetra untuk mengenal hal-hal baru, terutama hal-halyang tidak ia temui ketika berada di rumah.5. Menumbuhkan kepercayaan diri dan kemandirian dalam berkomunikasi dan melakukankontak.6. Melatih mobilitas anak untuk mengembangkan kontak-kontak sosial yang akandilakukan dengan teman sebaya.7. Memberikan pendidikan etika dan kesantunan berkaitan dengan adat dan kebiasaanyang berlaku dalam suatu daerah. Pendidikan etika yang berlaku di rumah dapatberbeda ketika anak tunanetra masuk dalam lingkungan baru dengan beragam kepribadianindividu.8. Mengenalkan anak tunanetra dalam beragam karakter interaksi kelompok. Hal inidapat memberikan pemahaman bahwa tiap kelompok memiliki karakter interaksi yangberbeda. Misalnya kelompok anak-anak kecil, kelompok remaja, atau kelompok orangdewasa.Interaksi sosial yang baik maupun yang kurang baik merupakan proses yang tidakditurunkan bagi anak tunanetra, melainkan diperoleh melalui proses belajar,bimbingan dan latihan. Pengaruh internal maupun eksternal yang positif dan negatif,secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi anak tunanetra dalamberinteraksi. Untuk menghindari terjadinya perilaku yang kurang baik pada anaktunanetra dalam bergaul perlu ditanamkan kemauan yang kuat. Kemauan yang kuat padadiri anak tunanetra dapat menimbulkan kepercayaan pada diri. Anak tunanetra jugadapat membedakan antara perilaku yang baik dan kurang baik dalam berinteraksi denganlingkungannya melalui program pengembangan interaksi sosial.

Judul: Pembelajaran Berbasis Internet Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Pada Siswa Sekolah Dasar
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION.
Nama & E-mail (Penulis): Rustantiningsih
Saya Guru di SDN Anjasmoro Semarang
Topik: Pembelajaran Internet
Tanggal: 8 Juli 2008
www.re-searchengines.com


Pembelajaran Berbasis Internet Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan Pada Siswa Sekolah Dasar
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini pemerintah menghadapi berbagai kendala dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan. Ketidakmerataan mutu guru di sekolah menjadi alasan utama pemerintah untuk selalu memperhatikan peningkatan kualitas sumber tenaga kependidikan. Hal ini ditempuh karena keberhasilan mutu pendidikan sangat tergantung dari keberhasilan proses belajar-mengajar yang merupakan sinergi dari komponen-komponen pendidikan baik kurikulum tenaga pendidikan, sarana prasarana, sistem pengelolaan, maupun berupa faktor lingkungan alamiah dan lingkungan sosial, dengan peserta didik sebagai subjeknya. Proses belajar mengajar sebagai sistem dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu di antaranya adalah guru yang merupakan pelaksana utama pendidikan di lapangan. Kualitas guru baik kualitas akademik maupun non akademik juga ikut mempengaruhi kualitas pembelajaran. Faktor lainnya yang tak kalah pentingnya dalam menentukan keberhasilan kegiatan belajar-mengajar, adalah sumber belajar. Dalam rangka mengupayakan peningkatan kualitas program pembelajaran perlu dilandasi dengan pandangan sistematik terhadap kegiatan belajar-mengajar, yang juga harus didukung dengan upaya pendayagunaan sumber belajar di antaranya internet. Ini di satu pihak, sedangkan di pihak lain kenyataan menunjukkan bahwa sumber belajar dan sarana pembelajaran yang telah dibakukan, diadakan dan didistribusikan oleh pemerintah belum didayagunakan secara optimal oleh guru, pelatih dan instruktur. Untuk mewujudkan kualitas pembelajaran, perlu ditempuh upaya-upaya yang bersifat komprehensif terhadap kemampuan guru dalam memanfaatkan internet sebagai sumber belajar. Namun demikian, berdasarkan isu yang berkembang dalam pendidikan, pembelajaran pada sekolah dasar belum berjalan secara efektif, bahkan banyak guru yang mengajar tanpa memanfaatkan sumber belajar. Mereka mengajar secara rutin apa adanya sehingga pembelajaran berkesan teacher centris. Berkait dengan perkembangan teknologi jaringan komputer yang ada sekarang ini, siswa SD pun dapat belajar dengan menggunakan jaringan internet sebagai sumber belajar, tentu saja dengan bimbingan guru atau pendampingan orang tua. Namun ironisnya banyak guru yang belum mengenal internet padahal siswa sudah banyak yang terbiasa menjelajahi dunia maya tersebut. Terkait dengan masalah tersebut, sudah seharusnya guru zaman sekarang ini mulai memanfaatkan internet sebagai sumber belajar. Dengan pembelajaran seperti ini diharapkan pengetahuan guru maupun siswa akan berkembang. Selain itu guru maupun siswa juga akan terbiasa mengoperasikan perangkat komputer tersebut, sehingga tidak ada lagi istilah guru gaptek (Gagap Teknologi) maupun siswa gaptek. Kaitannya dengan internet sebagai sumber belajar, pada makalah ini akan dibicarakan pengertian internet, spesifikasi peralatan internet, pengertian sumber belajar, dan metode pembelajaran melalui internet.
2. Rumusan masalah Dari uraian di atas permasalahan yang hendak dikaji yaitu bagaimanakah pembelajaran berbasis internet itu dapat diterapkan pada siswa sekolah dasar?
3. Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan pembelajaran berbasis internet pada siswa sekolah dasar.
b. Manfaat penulisan ini meliputi manfaat teoretis dan praktis. Manfaat teoretis, makalah ini dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami pembelajaran berbasis internet pada siswa sekolah dasar. Manfaat praktis, bagi guru sebagai masukan dalam memilih sumber belajar dan dapat menerapkannya dalam proses pembelajaran.
B. Pembahasan
1. Pengertian Internet Diera globalisasi, negara-negara diberbagai belahan dunia sudah tidak ada lagi batas dalam mempeeroleh informasi. Dalam waktu yang sama di tempat berbeda dengan jarak yang jauh sekalipun orang saling bertukar informasi dana berkomunikasi. Kemajuan teknologi informasi ini tidak hanya dirasakan oleh dunia bisnis, akan tetapi dunia pendidikan juga ikut merasakan manfaatnya. Perkembangan teknologi informasi lebih terasa menfaatnya dengan hadirnya jaringan internet yang memanfaatkan satelit sebagai media transformasi. Hadirnya internet sebagai sumber informasi ini sangat memungkinkan seseorang untuk mencari dan menyebarkan segala ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk penemuan penelitian keseluruh dunia dengan mudah, cepat, dan murah, sehingga pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi diharapkan dapat lebih cepat dan merata. Dengan demikian segala informasi yang ada di internet dapat dijadikan sebagai sumber belajar. Pengertian internet itu sendiri adalah jaringan (Network) komputer terbesar di dunia. Jaringan berarti kelompok komputer yang dihubungkan bersama, sehingga dapat berbagi pakai informasi dan sumber daya (Shirky, 1995:2). Dalam internet terkandung sejumlah standar untuk melewatkan informasi dari satu jaringan ke jaringan lainnya, sehingga jaringan-jaringan di seluruh dunia dapat berkomunikasi. Sidharta (1996) memberikan definisi yang sangat luas terhadap pengertian internet. Internet adalah forum global pertama dan perpustakaan global pertama dimana setiap pemakai dapat berpartisipasi dalam segala waktu. Karena internet merupakan perpustakaan global, maka pemakai dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Secara umum dapat dikatakan bahwa internet adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan saling hubungan antar jaringan-jaringan komputer yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan komputer-komputer itu berkomunikasi satu sama lain. 2. Spesifikasi Peralatan Internet Agar kita dapat mengoperasikan internet dengan baik, maka dibutuhkan perangkat keras dan perangkat lunak yang memadahi. Perangkat keras adalah komponen-komponen fisik yang membentuk suatu sistem komputer serta peralatan-peralatan lain yang mendukung komputer untuk melakukan tugasnya. Perangkat keras tersebut berupa:
(1) satu unit komputer, (2) modem, (3) jaringan telepon, (4) adanya sambungan dengan ISP (Internet Service Provider).Sedangkan perangkat lunak adalah program-program yang diperlukan untuk menjalankan perangkat keras komputer. Perangkat lunak ini kita pilih sesuai dengan:
(1) kemampuan perangkat keras yang kita miliki, (2) kelengkapan layanan yang diberikan, (3) kemudahan dari perangkat itu untuk kita operasikan dalam (User Friendly).3. Pengertian Sumber Belajar Dalam kawasan teknologi instruksional, sumber belajar pada dasarnya merupakan komponen teknologi instruksional, yang disebut dengan istilah "Komponen Sistem Instruksional". Teknologi instruksional adalah proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan belajar-mengajar itu mempunyai tujuan dan terkontrol. Dalam teknologi instruksional, pemecahan masalah itu berupa komponen sistem instruksional yang telah disusun terlebih dahulu dalam proses desain atau pemilihan dan pemanfaatan, dan disatukan ke dalam sistem instruksional yang lengkap, untuk mewujudkan proses belajar yang terkontrol dan berarah tujuan, yang komponennya meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar (Setijadi, 1986:3). Mudhofir (1992:13) menyatakan bahwa yang termasuk sumber belajar adalah berbagai informasi, data-data ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan manusia, baik dalam bentuk bahan-bahan tercetak (misalnya buku, brosur, pamlet, majalah, dan lain-lain) maupun dalam bentuk non cetak (misalnya film, filmstrip, kaset, videocassette, dan lain-lain). AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan dengan dengan cara yaitu dilihat dari keberadaan sumber belajar yang direncanakan dan dimanfaatkan. Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal. Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasi, dan digunakan untuk keperluan belajar (Setijadi, 1986:9). Berdasarkan konsep-konsep di atas, sumber belajar pada dasarnya merupakan komponen sistem instruksional yang meliputi pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar (lingkungan). Dalam makalah ini titik berat sumber belajar yang dikaji adalah internet. Sedang orang, bahan, peralatan dan teknik merupakan sumber belajar pendukung. 3. Metode Pembelajaran Melalui Internet Pembelajaran berbasis internet bagi siswa sekolah dasar sudah seharusnya mulai dikenalkan. Untuk itu para guru hendaknya sudah tahu lebih dahulu tentang dunia internet sebelum menerapkan pembelajaran tersebut pada siswa. Persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu sarana komputer. Tentu saja dalam hal ini hanya dapat diterapkan di sekolah-sekolah yang mempunyai fasilitas komputer yang memadai. Walaupun sebenarnya dapat juga diusahakan oleh sekolah yang tidak mempunyai fasilitas komputer misalnya dengan mendatangi warnet sebagai patner dalam pembelajaran tersebut. Setelah semua perangkat untuk pembelajaran siap, guru mulai melakukan pembelajaran dengan menggunakan sumber belajar internet. Bagi siswa sekolah dasar tentu saja akses-akses yang ringan yang berkaitan dengan mata pelajaran yang diajarkan. Disinilah kepiawaian seorang guru ditampilkan dalam mendampingi, membimbing dan mengolah metode pembelajaran agar tujuan pembelajaran yang diharapkan tercapai. Beberapa metode yang dapat dilakukan oleh guru, diantaranya: diskusi, demonstrasi, problem solving, inkuiri, dan descoveri. Guru memberikan topik tertentu pada siswa, kemudian siswa mencari hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut dengan mencari (down load) dari internet. Guru juga dapat memberikan tugas-tugas ringan yang mengharuskan siswa mengakses dari internet, suatu misal dalam pembelajaran Bahasa Indonesia siswa dapat mencari karya puisi atau cerpen dari internet. Siswa juga dapat belajar dari internet tentang hal-hal yang up to date yang berkaitan dengan pengetahuan. Guru memberi tugas pada siswa untuk mencari suatu peristiwa muthakir dari internet kemudian mendiskusikannya di kelas, lalu siswa menyusun laporan dari hasil diskusi tersebut. Metode-metode tersebut dapat dilakukan guru dengan model-model pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa semakin senang, tertarik untuk mempelajarinya sehingga proses pembelajaran tersebut menjadi pembelajaran yang bermakna. Dengan pembelajaran berbasis internet diharapkan siswa akan terbiasa berpikir kritis dan mendorong siswa untuk menjadi pembelajar otodidak. Siswa juga akan terbiasa mencari berbagai informasi dari berbagai sumber untuk belajar. Pembelajaran ini juga mendidik siswa untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam kelompok kecil maupun tim. Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu dengan pembelajaran berbasis internet pengetahuan dan wawasan siswa berkembang, mampu meningkatkan hasil belajar siswa, dengan demikian mutu pendidikan juga akan meningkat.. C. Penutup 1. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran internet dapat diterapkan di sekolah dasar dengan beberapa metode pembelajaran (diskusi, inkuiri, deskoveri, dan problem solving) serta menggunakan model pembelajaran yang dikemas sederhana, menarik, dan menyenangkan siswa, sehingga pembelajarannya lebih bermakna. Dengan pembelajaran berbasis Internet mendidik siswa untuk berpikir kritis, menambah wawasan dan pengetahuan siswa, mendidik siswa untuk belajar otodidak, dan meningkatkan hasil belajar siswa sehingga mampu meningkatkan mutu pendidikan. 2. Saran Para pendidik dan pihak-pihak yang terkait hendaknya mulai menyiapkan dan memperkenalkan pembelajaran berbasis internet ini kepada siswa SD, agar para siswa siap menghadapi tantangan zaman dan dapat menerima perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan cepat.

Melalui Pembelajaran Inovatif
Lanjar Pramudi *)
www.elpramwidya.wordpress.com



I. Latar Belakang
Mengajar bukan semata menceritakan bahan pembelajaran kepada siswa. Dan juga bukan merupakan konsekuensi otomatis penuangan ke dalam benak siswa. Namun belajar memerlukan keterlibatan mental dan perbuatan siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan dari guru semata tidak akan membuahkan hasil belajar yang optimal. Hasil belajar yang optimal hanya akan diperoleh jika proses pembelajaran yang dilakukan banyak melibatkan siswa untuk beraktifitas serta mengembangankan kreatifitas yang dimiliki siswa secara optimal.
Bagaimanakah caranya membuat proses pembelajaran yang aktif dan kreatif? Proses pembelajaran akan menjadi aktif jika siswa terlibat langsung dalam penyelesaian semua masalah yang diberikan oleh gurunya. Dalam prosesnya siswa bahkan sering meninggalkan tempat duduknya, bergerak leluasa dan berfikir keras, mengkaji gagasan, memecahkan masalah , dan menerapkan konsep yang telah dipelajarinya.
Untuk bisa mempelajari sesuatu dengan baik, siswa perlu mendengarnya, melihatnya, mengajukan pertanyaan tentang kompetensi yang sedang dibahas serta membahasnya dengan orang lain. Dan bahkan tidak cukup saja, melainkan siswa perlu mengerjakannya yakni menggambarkan sesuatu dengan caranya sendiri, menunjukkan contohnya, mencoba mempraktikkan keterampilannya, dan mengerjakan tugas yang menuntut pengetahuan yang telah atau harus mereka dapatkan.
Kita tahu bahwa siswa bisa belajar dengan sangat baik jika mempraktikkannya, namun bagaimana caranya kita bisa menggalakkan belajar aktif dan kreatif? Semua permasalahan ini dapat dijawab dengan menerapkan pendekatan pembelajaran yang inovatif.
Bentuk Pembelajaran inovatif dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, diantaranya dengan menggunakan Pendekatan kontekstual atau sering disebut dengan istilah Contextual Teaching and Learning (CTL), dan Pendekatan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM).
Bagaimanakah aplikasi ke dua pendekatan tersebut dalam pembelajaran, secara rinci akan diuraikan dalam makalah ini.

II. Pembelajaran inovatif
A. Hakikat pembelajaran inovatif
Pembelajaran inovatif adalah proses pembelajaran yang dirancang oleh guru dengan menerapkan beberapa metode dan teknik dalam setiap pertemuan. Artinya dalam setiap kali tatap muka guru harus menerapkan beberapa metode sekaligus. Namun dalam penerapannya harus memperhatikan karakteristik kompetensi dasar yang akan dicapainya, sehingga sangat dimungkinkan setiap kali tatap muka guru menerapkan metode pembelajaran yang berbeda.
Untuk bisa melakukan pembelajaran yang inovatif guru dituntut mempunyai wawasan yang luas dalam hal metode pembelajaran. Jika hal ini tidak dimiliki oleh seorang guru maka pembelajaran tidak menutup kemungkinan mengarah ke pembelajaran ”tradisional” (ceramah, tanya jawab, diskusi).
Bentuk pembelajaran inovatif diantaranya dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan kontekstual, dan PAIKEM.. Kedua pendekatan ini dalam implementasinya pada prinsipnya sama yaitu semuanya menuntut adanya kreatifitas guru yang tinggi serta dalam pelaksanaannya menuntut keaktifan dan kreatifitas siswa.
1. Pendekatan kontekstual
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)

a. Tujuh Komponen CTL
Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan landasan berfikir pendekatan CTL. Dalam konstruktivisme pengetahuan siswa dibangun secara bertahap dan hasil yang diperoleh melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan yang diperoleh tidak hanya seperangkat fakta, konsep, atau kaidah yang siap diambil dan diingat belaka, melainkan siswa harus mengkonstruksi sendiri pengetahuan tersebut barulah kemudian memberi makna melalui pengalaman yang nyata.
Dengan dasar tersebut pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan ”menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif selama dalam prooses pembelajaran, sehingga siswa menjadi pusat kegiatan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan dengan kehidupan siswa, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam mencapai kompetensi yang diharapkan.
Inquiry (menemukan sendiri)
Inquiry merupakan bagian terpenting dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diperoleh dengan cara menemukan sendiri. Oleh sebab itu proses pembelajaran yang dirancang guru harus berbentuk kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan. Langkah-langkah pembelajarannya dimulai dengan merumuskan masalah, mengamati, menganalisis, dan mengkomunikasikan.
Questioning (bertanya)
Questioning merupakan strategi yang utama dalam pendekatan kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru yntuk mendorong, membeimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Oleh sebab itu pertanyaan dari guru harus diarahkan untuk : (1) menggali informasi baik administrasi maupun akademis, (2) Memantau tingkat pemahaman siswa, (3) Membangkitkan respon siswa, (4) mengetahui sejauh mana keinginan siswa, (4) memfokuskan konsestrasi siswa pada kompetensi yang ingin dicapai dan (5) untuk menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Learning community (masyarakat belajar)
Learning community merupakan salah satu teknik dalam pendekatan kontekstual. Dengan tekhnik ini pembelajaran diperolah dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh melalui shering antar teman, antar kelompok dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Kegiatan ini akan terjadi bila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya dan tidak ada pihak yang menganggap dirinya yang paling tahu. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang lain memiliki pengetahuan, pengalaman atau keterampilan yang berbeda yang perlu dipelajari.
Dalam praktiknya Learning community dapat dilakukan dengan bermacam cara diantaranya adalah: pembentukan kelompok kecil, pembentukan kelompok besar, mendatangkan ahli ke dalam kelas, bekerja dengan kelas lain yang sederajat, bekerja kelompok dengan kelas di atasnya dan bahkan bisa dilakukan dengan masyarakat.
Fungsi guru dalam Learning community adalah mengarahkan siswa dan selalu memonitor terhadap semua kegiatan yang dilakukan siswa. Oleh sebab itu dalam kegiatan ini team teaching sangat diperlukan.
5. Modeling (pemodelan)
Maksud dari pemodelan adalah pembelajaran dilakukan dengan menampilkan model yang bisa dilahat, dirasa dan bahkan bisa ditiru oleh siswa. Dalam praktiknya guru bukan merupakan satu-satunya model. Karena model yang disampaikan akan menjadi standar kompetensi yang akan dicapai, maka jika guru tidak mampu menjadi model jangan sekali-kali memaksakan diri. Guru dapat mendatangkan model dari luar. Model tersebut bisa dari siswa yang dianggap mampu, atau para pakar ke dalam kelas.
6. Reflection ( refleksi)
Reflection adalah cara berfikir tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian , aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Tujuan dari kegiatan refleksi ini adalah untuk melihat sudah sejauh mana pengetahuan yang dibangun sebelumnya dapat mengendap di benak siswa. Oleh sebab itu kegiatan refleksi ini harus selalu dilakukan sebelum guru mengakhiri proses pembelajaran untuk setiap kali pertemuannya.
7. Authentic Assessment (penilan yang sebenarnya)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Kegiatan ini perlu dilakukan guru untuk mengetahui dan memastikan bahwa siswa telah mengalami proses pembelajaran dengan benar. Dan apabila dari hasil assessment ini diketahui siswa mengalami kesuliatan dalam menguasai kompetensi, maka guru harus segera mengambil tindakan yang tepat agar siswa dapat menguasai kompetensi yang telah ditetapkan.
Karena assessment menekankan pada proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan oleh siswa baik dalam proses pembelajaran maupun sesudah proses pembelajaran berlangsung.
b. Karakteristik Pembelajaran CTL
1. Kerjasama
2. Saling menunjang
3. Menyenangkan, tidak membosankan
4. Belajar dengan bergairah
5. Pembelajaran terintegrasi
6. Menggunakan berbagai sumber
7. Siswa aktif
8. Sharing dengan teman
9. Siswa kritis guru kreatif
10. Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
11. Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya siswa, laporan hasil pratikum, karangan siswa dan lain-lain
c. Penerapan Pendekatan Kontekstual di Kelas
CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya. Pendekatan CTL dalam kelas cukup mudah penerapannya. Secara garis besar, langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan CTL sebagai berikut ini.
1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya
2. Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik
3. kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya
4. Ciptakan masyarakat belajar
5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara
d. Prinsip yang harus diperhatikan guru dalam menerapkan pendekatan CTL adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran yang dilakukan sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa
2. Membentuk group belajar yang saling tergantung. Siswa saling belajar sesamanya dalam kelompok kecil, maupun dalam kelompok yang besar
3. Menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran mandiri yang memiliki tiga karakteristik umum, yaitu kesadaran berfikir, penggunaan strategi dan motivasi berkelanjutan
4. Mempertimbangkan keragaman siswa (status sosial, suku bangsa, bahasa ibu dan sebagainya)
5. Memperhatikan multi intelegensi siswa
6. Menggunakan teknik-teknik bertanya yang meningkatkan pembelajaran siswa, perkembangan pemecahan masalah dan keterampilan berfikir tingkat tinggi
7. Menerapkan penilaian yang berbasis kelas dan berkelanjutan
Dengan tujuh komponen CTL tersebut proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual
Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.
a. Proses belajar
· Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri
· Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh guru
· Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan
· Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisak, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
· Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
· Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide
· Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.
b. Transfer Belajar
· Siswa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain
· Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit)
· Penting bagi siswa tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu
c. Siswa sebagai Pembelajar
· Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu, dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru
· Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting
· Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
· Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
d. Pentingnya lingkungan Belajar
· Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru akting di depan kelas, siswa menonton ke siswa akting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan.
· Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara siswa menggunakan pengetahuan baru mereka.Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya
· Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian yang benar
· Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
5. PAIKEM
Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Evektif, dan Menyenangkan (PAIKEM) adalah merupakan salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang dilakukan dengan menerapkan multi metode, multi media dan melibatkan multi aspek (logika, praktika, estetika, dan etika). Oleh sebab itu dalam proses pembelajarannya dapat memanfaatkan lingkungan sekitar, sehingga proses pembelajarannya tidak hanya dilakukan di dalam kelas melainkan dapat juga di luar kelas (Depdiknas: 2006).
Dalam praktiknya proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PAIKEM mengacu kepada prinsip “joyful learning, mastery learning, quantum learning, empowering dan continuous improvement”. Untuk mencapai prinsip tersebut guru harus mendesain proses pembelajarannya mengacu kepada kebutuhan pelanggan. Fungsi guru dalam pembelajaran menganut sistem “Tut wuri handayani, Ing madya mangun karso, Ing ngarso sung tulodo”.
Dengan prinsip joyful learning guru harus mampu mengemas proses pembelajaran semenarik mungkin bagi para siswanya, sehingga siswa selalu bergairah dalam mengikuti pembelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Prinsip mastery learning, menuntut guru sedini mungkin mengetahui sudah sejauh mana siswa telah menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Dengan kata lain siswa dituntut untuk mencapai ketuntasan belajar. Oleh sebab itu jika dalam situasi tertentu siswa belum mencapai standar ketuntasan belajar yang telah ditetapkan oleh sekolah, maka guru harus segera melakukan tindak lanjut, yaitu melakukan kegiatan remidial.
quantum learning merupakan seperangkat metode dan falsafah belajar dengan memberikan sugesti kepada para siswa (Bobbi dePorter dan Mike Hernacki:2003). Prinsipnya adalah bahwa dengan sugesti dapat mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif maupun negatif. Sugesti positif dapat dilakukan dengan mendudukkan murid secara nyaman , memasang musik latar di dalam kelas , meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi. Lingkungan belajar yang diperlukan dalam quantum learning adalah lingkungan yang positif, aman,mendukung, santai, penjelajahan, dan menggembirakan. Sedangkan suasana yang diperlukan yaitu suasana yang nyaman, cukup penerangan, enak dipandang, dan ada musiknya.
Dalam menerapkan prinsip empowering guru harus mau memberikan kepercayaan pada siswa untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Siswa jangan dikekang atau dibatasi dengan ketentuan-ketentuan yang kaku. Pemberian kepercayaan ini tidak hanya berkaitan dengan tugas-tugas yang harus diselesaikan siswa, melainkan termasuk juga memberikan penilaian terhadap pekerjaannya sendiri.
Sedangkan prinsip continuous improvement adalah prinsip pendekatan PAIKEM yang menuntut guru untuk selalu memantau kemajuan siswa. Dengan PAIKEM hendaknya kompetensi siswa selalu tumbuh berkembang. Untuk mengetahui perkembangan kompetensi siswa tersebut tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan evaluasi secara kontinu dan berkelanjutan.
Dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut fungsi guru sesuai dengan PP 19 tahun 2005 adalah guru sebagai fasilitator, motivator, dan inspirator. Sebagai fasilitator maksudnya yaitu guru dalam proses pembelajaran harus mampu memfasilitasi siswa selama dalam proses pembelajaran. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran guru tidak boleh hanya duduk manis di belakang meja guru, apalagi sampai ke luar kelas. Selama dalam proses pembelajaran guru harus selalu berkeliling memonitor siswa dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, dan apabila ditemui siswa yang tidak mampu menyelesaikan maka guru harus membantunya dengan jalan menjelaskan materi yang belum dikuasai siswa tersebut.
Dalam proses pembelajaran sering ditemui siswa cenderung pasif serta tidak mau ikut berpartisipasi. Bila ditemui hal yang demikian maka sebagai motivator guru harus mampu memotivasi siswa untuk selalu bersemangat dalam mengikuti pembelajaran hingga pada akhir kegiatan siswa mampu mencapai kompetensi yang dipelajari pada hari tersebut.
Sedangkan sebagai inspirator dalam proses pembelajaran guru harus mampu menggali dan mengembangkan inspirasi yang telah dimiliki siswa. Sehingga siswa dapat secara optimal menunjukkan kemampuannya.

III. Kesimpulan
Kualitas mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh bagaimana proses pembelajaran yang dilakukan guru terhadap para siswanya. Pembelajaran yang monoton dirasakan membosankan bagi siswa. Untuk mengatasi hal tersebut proses pembelajaran yang inovatif sangat diperlukan.
Pendekatan kontekstual dan PAIKEM merupakan contoh pendekatan pembelajaran inovatif. Pendekatan ini hanya dapat dilakukan jika guru mempunyai dedikasi dan kreatifitas yang tinggi, jika dua sikap ini tidak dimiliki oleh guru maka sangat mustahil proses pembelajaran dapat dilakukan dengan baik. Pendekatan ini juga menuntut siswa untuk selalu aktif, kreatif, dan inovatif.
www.elpramwidya.wordpress.com

Senin, 13 Agustus 2007 -
oleh : Andi Kresna Jaya
www.unhas.ac.id
Kemarin saya berkunjung ke saudara saya yang anaknya di kelas dua sebuah sekolah dasar. Sewaktu kelas satu, pelajaran di kelas belum menggunakan model pengajaran tematik dan hasilnya luar biasa, rangking satu dari 42 orang. Sejak sebulan ini di kelas dua model pengajaran diubah menjadi model pengajaran tematik. Ternyata si anak kebingungan karena banyaknya topik dalam satu buku acuan yang harus dipelajari dalam satu waktu. Pengajaran tematik sendiri, menurut istri saya yang mengajar di sekolah internasional adalah memberikan seabrek kompetensi kepada siswa untuk sekali mengajar. Didalam buku acuan itu sendiri, memang jelas terlihat ada bacaan mengenai sikap gemar menabung, kemudian dihubungkan dengan konsep berhitung bilangan ratusan. Ada pula bacaan tentang ilmu pengetahuan alam. Secara umum definisi pengajaran tematik yang disampaikan istri saya itu benar. Hal yang mengejutkan karena sekolah istri saya justru menolak model pengajaran tematik ini, dengan alasan tidak mampu mengembangkan kompetensi siswa secara lebih baik dibandingkan dengan metode pengajaran koperatif yang dikembangkan di sekolah tersebut. Kembali ke anak saudara saya, pokoknya pengajaran tematik itu telah membuatnya menjadi bingung dan di rumah orang tuanya pun bingung membantunya belajar, karena sekali lagi buku acuan itu tidak didukung degan banyak contoh yang bisa memberi pemahaman bagi otak anak kelas dua. Mungkin perlu ditinjau pengajaran tematik ini, apakah perlu ada pengawaman metode ini ke guru-guru, atau perlu melengkapi fasilitas sekolah yang dapat merespon anak secara visualisasi konsep-konsep dalam buku acuan. Karena tujuan utama pengajaran tematik sendiri adalah guru sebagai fasiltator dan siswa belajar mandiri secara bersama tidak secara individual. Melihat tujuannya jadi ingat pelatihan SCL UNHAS yang budgetnya besar-besaran. Perlu mungkin pelatihan guru-guru untuk pengajaran tematik ini agar metode pengajarannya tidak membosankan dan membingungkan. Mengapa? Untuk siswa sebanyak 42 orang, mendapatkan mood mereka itu tidak gampang, perlu strategi khusus padahal waktu pengajaran satu mata pelajaran sangatlah singkat. Bayangkan saja jika mood mereka baru terfokus setelah 30 menit sungguh waktu mata pelajaran itu menjadi lebih singkat lagi, dan apakah dalam selang waktu itu materi pelajaran bisa kita transfer ke siswa. Oke, katakanlah mereka harus belajar mandiri, jiwa mereka adalah jiwa yang masih ingin bermain, mampukah dalam permainan yang mereka ciptakan di luar sekolah mengingatkan ereka bahwa ini yang dimaksud materi pelajaran tadi.

Senin, 06 April 2009 21:44 WIB
Penulis : Deri

JAKARTA--MI: Sekolah bertaraf internasional (SBI) muncul bak cendawan di musim hujan. Bukan hanya pengelola swasta, sejumlah sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) negeri juga membuat kelas internasional.

Ternyata penelitian menunjukkan sebagian besar siswa SBI memiliki aspek kognitif keindonesian sangat rendah. Sekolah tidak mendorong tumbuhnya identitas sebagai orang Indonesia, kata M Fajri Siregar, sarjana sosiologi Univeristas Indonesia yang meneliti sejumlah SBI di Jakarta Selatan.

Pada diskusi publik yang bertajuk Membedah kebijakan sekolah bertaraf internasional di Jakarta, Senin (6/4), Fajri juga mengatakan SBI telah membentuk ketimpangan pendidikan antara mereka dari keluarga kaya dan keluarga miskin. Fajri menjelaskan bahwa sebuah SBI yang ditelitinya selain menggunakan kurikulum nasional, juga mengadopsi dari University of Cambridge International Examination.

Pengajarnya yang terdiri dari 37 pengajar, hanya enam orang yang berasal dari lokal. Selain itu, jabatan kepala sekolahnya juga dipegang orang asing. Padahal orang-orang asing yang mengajar di Indonesia belum ada peraturan dan belum diuji kompetensi mereka. Guru Indonesia hanya pelajaran Indonesia studies, katanya.

Pakar pendidikan HAR Tilaar mengatakan SBI yang bermunculan sekarang merupakan tempat pendidikan yang tidak nasionalis. SBI dan kelas internasional lebih menjurus pada korporasi atau komersialisasi pendidikan, katanya.

Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu mengatakan munculnya SBI dan kelas internasional menunjukkan pendidikan telah mengarah pada neoliberalisme pendidikan. Sekarang pendidikan sudah menjadi komoditi yang diperjualbelikan. Apalagi didukung Perpres No 7 Tahun 2007 mengenai investasi asing dalam pendidikan nasional, katanya.

Kepala Sekolah Kanisius dan pengamat pendidikan Baskoro mengatakan bahwa SBI sebenarnya 'sekolah bertarif internasional'. Pasalnya biaya SBI dan kelas internasional itu mulai dari Rp 20 jutaan hingga Rp60 jutaan per tahun.

Baskoro menilai pemerintah yang mendorong pendirian SBI sebagai bentuk perhatian pendidikan kepada segelintir orang. Padahal masih jutaan anak Indonesia yang pendidikan masih tertinggal. Mereka itu yang seharusnya mendapat perhatian, katanya.

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Utomo Dananjaya menilai bahwa pendidikan Indonesia telah terkooptasi Organization for Economoc Cooperation and Development (OECD).Siswa SBI saat ditanya mereka lebih mengenal Barack Obama dari pada calon presiden Indonesia, katanya.

Pendidikan Indonesia yang memunculkan SBI dan kelas internaional telah membelah kelompok anak dari orang tua kaya dan orang tua miskin.

Padahal, katanya, Raden Mas Soewardi Surjadiningrat adalah orang hasil pendidikan sekolah Belanda. Ketika rasa nasionalismenya muncul dan peduli pada rakyat kecil, ia mendirikan perguruan Taman Siswa dan namanya diganti jadi Ki Hadjar Dewantara. (Drd/OL-03)

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/04/04/68313/
88/14/Sekolah_Berstandar_Internasional_Reduksi_
Identitas_Indonesia_

l

Sabtu, 28 Maret 2009 | 02:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS.COM--Konsep pembelajaran Matematika horizontal dikembangkan Stephanus Ivan Goenawan, pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta. Metode horizontal ini merupakan metode perhitungan di mana proses penyelesaian dilakukan secara mendatar (horizontal) dari arah kanan menuju ke kiri. Bilangan desimal biasa dikonversi dengan notasi pagar (I).

Upaya untuk mengenalkan konsep pembelajaran Matematika dengan cara tidak konvensional (selama pembelajaran Matematika menggunakan metode vertikal) dilakukan dengan menggelar olimpiade kreativitas angka yang diikuti siswa SD hingga perguruan tinggi.

Menurut Ivan, cara ini untuk mengembangkan kreativitas seseorang karena potensi kreativitas dapat diasah melalui angka dengan cara mengenali keteraturan polanya. ”Bila daya kreativitas angka meningkat, daya ini dapat berimbas ke jenis kreativitas lain, seperti pada pelajaran sekolah, seni, strategi bisnis, dan ilmu pengetahuan lainnya,” ujarnya di Jakarta, Kamis (26/3).

Menurut Ivan, belajar Matematika bukan sekadar mengajarkan anak tahu berhitung dan mengasah logika. ”Namun Matematika juga bisa dimanfaatkan untuk mengasah kreativitas otak anak,” katanya.

Pengembangan metode belajar Matematika sehingga menarik bagi anak-anak sebelumnya juga dilakukan Septi Peni Wulandani dengan metode jaritmatika. Penghitungan dilakukan dengan memanfaatkan tangan kanan yang diibaratkan tangan satuan dan tangan kiri sebagai tangan puluhan.

Perlu kreativitas guru

S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, mengatakan, untuk menciptakan pembelajaran Matematika yang selama ini dianggap masih momok buat siswa sehingga menjadi menyenangkan perlu kreativitas guru. Guru bisa saja memanfaatkan metode pembelajaran Matematika yang berkembang di luar kelas jika memang bisa membantu terciptanya belajar Matematika yang menyenangkan.

”Apalagi jika metode belajar Matematika yang inovatif itu hasil pemikiran anak bangsa. Kenapa tidak diperkenalkan sebagai salah satu metode belajar. Yang penting, anak-anak paham konsep belajar Matematika dan bisa menggunakannya untuk kehidupan,” kata Hamid. (ELN)

Sumber : Kompas Cetak
http://oase.kompas.com/read/xml/2009/03/28/02191914/ Dikembangkan..Pembelajaran.Matematika.Horizontal

Jumat, 6 Maret 2009 | 18:37 WIB

JAKARTA, JUMAT — Usia kanak-kanak (0-7) merupakan momen paling krusial bagi seorang anak. Memanfaatkan masa ini dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dinilai penting karena memengaruhi kualitas anak 10 tahun mendatang.

Demikian disampaikan Konsultan Pendidikan Usia Dini, Clara Cristhie, seusai memberikan pelatihan kepada guru TK dan orang tua tentang pendidikan dini yang diadakan oleh Teacher Institute Sampoerna Foundation di Jakarta, Jumat (6/2).

Pendidikan dini memperkenalkan tentang pengendalian konflik di masa mendatang. Bisa dilihat bagaimana anak di taraf SMP hingga SMA rentan terpancing emosi, sehingga menimbulkan perkelahian, terangnya.

Menurut Clara, pentingnya pendidikan usia dini mengacu dari hasil penelitian sekelompok pemerhati pendidikan di Chicago, Amerika Serikat, tahun 70-an yang menemukan bahwa anak yang mendapat pendidikan dini pada usia dewasa (17-25) dapat mengendalikan konflik, bahkan meredamnya.

Metode yang diajarkan kepada anak-anak disesuaikan dengan umur. Gerakan tubuh diterapkan untuk anak umur 0-1 tahun, simulasi benda sinar pada anak 1-2 tahun, sosialisasi dan interaksi kepada anak antara umur 2,5-3. Sementara pada umur 3,5-7 tahun sudah mulai memasuki sisi keilmuan, seperti membaca dan berhitung.

Untuk anak usia enam bulan, kita mengajarkan gerakan dan stimulasi sosial seperti berkumpul dengan bayi lain. Konkretnya, ketika ada bayi lain menangis, bayi tersebut cenderung menangis. Ini mengajarkan sebuah empati sedini mungkin, papar Clara.

Adalah tugas orang tua untuk mengajarkan pendidikan dini. Bila orang tua belum mampu secara optimal untuk melakukannya, mereka bisa mendaftarkan anak-anaknya di sekolah yang menerapkan pendidikan dini. Antara lain jenis sekolah invent untuk anak umur 0-1 tahun, toddler 1-2 tahun, preschool 2,5-3 tahun, kindergarten 3,5-5 tahun, dan sekolah dasar 6 tahun ke atas.

Sekarang banyak sekolah seperti itu di Indonesia. Semakin bertambah tiap tahun. Perkembangan itu terlihat sejak tahun 80-an akhir. Meski sekolah yang ada rata-rata dimiliki swasta, terang Clara, lulusan Chicago, Amerika Serikat.

Meskipun demikian, Clara mengimbau agar para orangtua tidak termakan stigma yang menyatakan sekolah swasta lebih baik ketimbang negeri. Kita perlu menganalisis apakah sekolah itu cocok untuk kepribadian sang anak atau tidak. Dan ini adalah tugas orangtua, imbau Clara.

Karena orangtua perlu serius melakukan observasi dahulu sebelum memasukkan anaknya. Menurut Clara, sekolah-sekolah yang kredibel akan memberikan masa observasi bagi orangtua untuk mengenali sistem pendidikan yang diterapkan, metode pengajaran, kondisi kelas, mutu pengajar, dan pendidikannya.

Bila ada sekolah yang tidak memberikan izin itu, patut dipertanyakan, terangnya. Clara memperingatkan agar para orangtua tidak tertipu dengan bangunan fisik daripada kualitas sekolah.

Selain terlatih kemampuannya dalam mengendalian konflik, anak yang mendapatkan pendidikan dini akan terasah pribadinya menjadi pemimpin masa depan melalui pembebasan cara berpikir dan mengeluarkan ide-ide.

Kita menciptakan pemimpin dan bukan pekerja, yang hanya menunggu gaji saja, ujarnya. Faktor pendukung pembentukan pola pikir dan karakter menurut Clara dipengaruhi perbandingan antara jumlah anak dengan murid di kelas.

Untuk sekolah preschool misalnya, perbandingan guru dengan murid adalah 1:12, artinya satu guru menangani 12 murid. Begitu pun yang diterapkan pada tingkat SD. Untuk memperoleh daya serap yang ideal, perbandingannya untuk tingkat SD 1:18, invent 1:3, dan toddler 1:6, jelas Clara.

C2-09

Sumber: Kompas.Com
http://www.kompas.com/read/xml/2009/03/06/18372518/ pendidikan.dini.demi.masa.depan.anak

SUARA PEMBARUAN DAILY

Ratna Megawangi

www.semipalar.net


MINGGU lalu penulis sempat mengunjungi Lapangan Tiananmen di Beijing. Tempat tersebut memang amat terkenal, karena sempat menjadi perhatian di seluruh dunia ketika terjadi protes mahasiswa terbesar di Republik Rakyat Cina pada Juni 1989. Katanya tempat tersebut selalu ramai, bahkan kalau hari-hari libur sulit bagi kita untuk melihat lantainya karena begitu banyaknya manusia.

Banyak sekali objek menarik yang dapat kita kunjungi di sana, misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih terlihat segar terbujur, monumen bersejarah, People's House, museum, dan Forbidden City (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang lalu).

Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan puluhan ribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak ada satu pun sampah yang bergeletak di sana. Di seluruh tempat keramaian yang penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukan sampah tergeletak di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, dan masih banyak penduduk yang miskin.

Di Indonesia, di tempat-tempat keramaian pasti identik dengan sampah berserakan. Penulis pernah saksikan di sebuah ruangan seminar di Jakarta yang dihadiri para guru yang jumlahnya tidak sampai 100 orang. Setelah seminar berakhir, lantai ruangan penuh berserakan kotak-kotak snack, gelas air minum kemasan, dan plastik. Bayangkan, di sebuah ruang kecil yang dihadiri para guru yang kerjanya mendidik manusia, tetapi sudah bisa mengotori sebuah ruangan!

Penulis jadi tertarik untuk mengetahui, mengapa negara Cina yang relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu cepat mengejar ketertinggalannya? Padahal, pada akhir 1970-an, kita masih melihat bagaimana miskinnya rakyat Cina yang masih memakai baju hitam atau abu-abu. Terus terang, tidak terasakan adanya perbedaan yang menyolok antara ketika penulis sedang di Beijing, dan di Tokyo, Seoul, Hong Kong, ataupun Singapura.

Kebetulan, ketika sedang transit di Bandara Changi Singapura dalam perjalanan ke Beijing, penulis sempat mencari buku tentang sejarah Cina, dan menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Li Lanqing (mantan Wakil PM Cina), berjudul Education for 1.3 Billion (Pearson Education and China: Foreign Language Teaching & Research Press, 2005). Setelah membaca buku tersebut, bisa dimengerti mengapa Cina bisa begitu cepat maju, karena reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina tampaknya berhasil membentuk SDM yang memang cocok untuk iklim modern.

Terus terang, cukup surprised membaca pemikiran Li Lanqing, seorang politikus dan birokrat, tetapi anehnya mempunyai pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang pendidikan. Semua kebijakan yang diambilnya dalam mereformasi pendidikan di Cina, diinspirasikan oleh berbagai buku yang dibacanya, misalnya, ia menguasai bagaimana perkembangan hasil riset otak dari sejak tahun 1950-an sampai tahun 1990-an, sehingga ia mengerti bahayanya sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku, termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian.

Ia juga terinspirasi pemikiran Howard Gardner tentang multiple intelligences, yang ia baca buku-bukunya sejak Frames of Minds (1983). Li Lanqing begitu antusias untuk menerapkan berbagai teori mutakhir ke dalam sistem pendidikan di Cina, dan menurutnya: "I am interested in it because I want to call the attention of our educators and scientists ....so that education in this nation can be made to enhance people's all-round development and tap the potential of human resources to the fullest measure" (hal 316-317). Namun, Li Lanqing juga masih membawa nilai-nilai luhur Cina ke dalam reformasi pendidikannya.


Pendidikan Karakter



Dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system, it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental purpose of turning every citizen into a man or woman of character and cultivating more constructive members of society (Decisions of Reform of the Education System, 1985). Karena itu program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.

Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.

Sedangkan pendidikan moral, misalnya PPKN dan pelajaran agama, adalah hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan), tanpa ada apresiasi (emosi), dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat kitab suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.

Kebijakan reformasi pendidikan ke arah pembentukan karakter memang terus mendapat dukungan secara eksplisit oleh Presiden Jiang Zemin, yaitu melalui pidato-pidatonya. Sehingga, seperti yang diungkapkan oleh Li Lanqing: "After many years of practice, character education has become the consensus of educators and people from all walks of life across this nation. It is being advanced in a comprehensive way". Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia, sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan hapalan dan orientasi untuk lulus ujian (kognitif). Hampir semua pemimpin di Cina, dari Jiang Zemin, Li Peng, Zhu Rongji sampai Hu Jianto dan lainnya, sangat prihatin dengan sistem pendidikan yang terlalu menekankan aspek kognitif saja, yang dianggap dapat "membunuh" karakter anak, misalnya PR yang terlalu banyak, pelajaran yang terlalu berat, orientasi hapalan dan drilling, yang semuanya dapat membebani siswa secara fisik, mental, dan jiwa (hal 336).

Bahkan pada tanggal 1 Februari, 2000, Presiden Jiang Zemin mengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh aspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter, aestetika, dan fisik (atletik).

Walaupun masih belum sempurna, dengan ideologi komunisnya, tampaknya Cina ingin menunjukkan "wajah" yang berbeda dari negara komunis lainnya. Mungkin Cina bisa mewujudkan impian para pemikir sosialis yang berseberangan dengan pemikiran Karl Marx, seperti Proudhon dan Robert Owen, bahwa kesadaran moral sosialis sejati harus menjadi alat untuk mencapai tujuan akhir ideologi sosialisme, dan praksisnya adalah bagaimana menyiapkan manusia untuk mempunyai karakter seorang sosialis sejati (persaudaraan antarmanusia; saling peduli, dan berkeadilan). Karl Marx justru tidak setuju dengan pemikiran itu, karena kesadaran moral sosialis baginya adalah hanya tujuan akhir, dan praksisnya adalah perubahan struktur masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dengan pemaksaan atau kediktatoran (bertentangan dengan moral sosialis sejati)--- the end justifies the means.


Kekuatan Dahsyat


Apabila Cina bisa berhasil mendidik 1,3 miliar manusianya menjadi manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli, dan sebagainya), maka jumlah penduduk sebesar itu akan menjadi kekuatan yang amat dahsyat bagi kemajuan Cina. Inilah yang membuat para pakar Amerika Serikat deg-degan, seperti kata Bill Bonner yang mengkhawatirkan kondisi AS di masa depan: "Bisa dibayangkan dalam waktu 20 atau 30 tahun ke depan, mungkin akan banyak orang Amerika yang mencari pekerjaan sebagai baby sitter di Cina."

Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar manusianya, Indonesia tentunya bisa melakukannya. Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak terdengar dari para pemimpin kita.

Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semua bisa melakukannya di lingkungan terkecil kita; keluarga dan sekolah.

Jumat, 6 Maret 2009 | 08:20 WIB

Long weekend kerap dimanfaatkan keluarga untuk berlibur ke tempat-tempat yang tak begitu jauh. Puncak, Lembang, Bandung, atau Anyer, sudah pasti jadi pilihan. Yang duitnya sedang berlebih, bisa pula berlibur singkat ke Bali atau Singapura. Kota-kota seperti Garut, Cirebon, atau Solo pun, sekarang mulai menjadi target liburan, karena tempatnya yang indah.

Sebaiknya waktu berlibur memang tidak disia-siakan. Manfaatnya banyak, lho. Anda tidak hanya menjadi fresh lagi setelah sibuk bekerja, anak-anak pun menjadi lebih pintar. Tak percaya?

Menurut Heny E. Wirawan, M.Hum, Psi., banyak sekali manfaat yang akan diperoleh anak dengan berlibur. Di antaranya:

Menambah pengalaman. Selama perjalanan banyak pengalaman baru yang didapat anak. Ia melihat banyak hal untuk pertama kalinya, seperti laut, gunung, candi, kapal, pesawat, tari-tarian, pakaian adat, makanan, dan sebagainya.

Belajar mengenal aktivitas baru. Anak juga bisa melihat sekaligus belajar mengenal beberapa aktivitas baru yang hanya ada di tempat itu, misalnya Pak Tani yang sedang membajak sawah, pemain surfing yang sedang berselancar di pantai, pramugari yang melayani penumpang, dan sebagainya. Manfaatkan momen itu untuk menambah perbendaharaan katanya.

Mengenal nama daerah yang dikunjungi. Di usia balita anak juga sudah bisa diajarkan mengenal nama-nama tempat atau daerah yang dikunjungi. Misalnya, diajak berlibur ke Bali. Tempat wisata yang disinggahi apa saja? Pantai Kuta, pantai Sanur, Pura Uluwatu, Ubud, dan sebagainya. Supaya mudah, ingatkan anak dengan ciri khas atau kenangan yang dilakukan di tempat itu. Umpamanya di Pantai Kuta, waktu bermain layang-layang dan di Pura Uluwatu melihat monyet.

Melatih rasa percaya diri. Pengalaman naik pesawat, berenang di pantai, merasakan dinginnya air terjun, dan sebagainya, membuat keyakinan dirinya bertambah. Sebaiknya Anda tidak banyak melarang, biarkan anak memuaskan rasa ingin tahunya. Misalnya, ia penasaran melihat air laut yang sangat banyak. Biarkan ia mendekat dan merasakan dinginnya air laut dan kuatnya deburan ombak. Tentu saja pengawasan orangtua sangat dibutuhkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Mempererat hubungan keluarga. Bepergian jauh atau berlibur selama beberapa hari bersama keluarga dalam suasana gembira akan mempererat hubungan keluarga. Anak akan merasakan kasih sayang dari ayah dan ibu sekaligus belajar mengekspresikan rasa sayangnya.

Sumber: Kompas.Com
http://perempuan.kompas.com/read/xml/2009/03/06/ 08205391/Jadi.Pintar.Berkat.Liburan

Judul: Kesadaran guru terhadap tanggungjawab
Nama & E-mail (Penulis): Kavinji
Saya Kepala Sekolah di SMP N 1 Giriwoyo, Wonogiri
Topik: Pentingnya tanggung jawab
Tanggal: 1 Maret 2008
www.re-searchengines.com


DALAM era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Guru sebagai ujung tombak pendidikan memegang peranan penting keberhasilan pendidikan di Indonesia, disamping faktor-faktor pendukung lainya. seiring dengan perkembangan dan perubahan peradaban dewasa ini guru sebagai orang yang patut di guru dan di tiru mengalamai degradasi mental untuk di GUGU dan di TIRU. Hal ini dapat disimak dari berbagai peristiwa yang menjadi berita di koran dan media lainnya. Fenomena ini juga terjadi di lingkungan kami yang nota bene merupakan daerah pinggiran yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern. Guru sebagai pihak yang bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan tugasnya justru menjadi pihak yang sering kali mengabaikan tanggungjawabnya. hal ini bisa dilihat dari kehadiran, rasa andarbeni (memiliki), dan kewajiban untuk menjadikan anak menguasai kompetensinya hilang. yang ada bahwa guru hanya sekedar menggugurkan kewajiban. Hal-hal yang terkait dengan tanggungjawab terhadap upaya mencerdaskan bangsa terabaikan, yang ada dibenak guru bagaimana menghabiskan waktu kehadiran di sekolah untuk sekedar menggugurkan kewajiban mengajarnya. sungguh ironis ketika kita semua tahu bahwa anak-anak bangsa ini terpuruk dan keterpurukan itu hanya bisa diangkat dengan peningkatan kemampuan dan kompetensi yang dimilikinya, guru sebagai pihak yang seharusnya berada di barisan terdepan justru berada di barisan belakang dengan tidak peduli lagi terhadap tanggung jawabnya. siapa lagi yang akan bertanggung jawab terhadap semua ini!!!! upaya yang dilakukan oleh pihak manapun, MGMP, MKKS, Dinas Pendidikan maupun Departemen Pendidikan melalui berbagai kegiatan penataran, pelatihan atau diklat tidak akan ada artinya selama main set guru tidak pernah berubah terhadap tanggung jawabnya. PR kita kedepan bagaimana merubah main set guru menjadi tahu dan sadar terhadap tangung jawabnya tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban. semoga PR ini mendapatkan perhatian dari semua pihak sebelum kita menyesal kemudian...

Written by Administrator
Friday, 01 May 2009
www.tendik.org

Demokasi merupakan simbol pengakuan kebebasan dan kemerdekaan masyarakat dari rasa ketakutan yang sebelum-belumnya ada dan tercipta oleh negara. Dalam masa reformasi ini demokrasi secara nyata mendapatkan tempat yang terhormat dimata masyarakat indonesia, khususnya dalam masalah hukum di tanah air ini. Dalam Undang-undang Undang-Undang Dasar 1945 dalam kaitannya dengan perlindungan hukum, telah mengamanatkan bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law). Hal ini memberikan pengertian bahwa tidak ada perlakuan diskriminatif bagi setiap warga negara termasuk perlindungan hukumnya.

Rasa aman dan nyaman bagi warga negara merupakan sesuatu hal yang amat didambakan, dengan adanya rasa aman dan nyaman, maka setiap orang dapat menjalankan aktifitas atau kegiatan dengan baik. Di era teknologi dan informasi yang perkembanganya begitu cepat, dan mudahnya kita untuk mengakses berita yang kita inginkan, membuat kita mengetahui perkembangan yang terjadi. Salah satu agenda yang menjadi perhatian Departemen Pendidikan Nasional adalalah perlindungan bagi tenaga kependidikan. Perlindungan bagi tenaga kependidikan merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang mutlak ada pada tenaga kependidikan. Karena dengan adanya perlindungan, maka hak dan kewajiban yang dimiliki oleh tenaga kependidikan akan terjamin, yang pada akhirnya proses dan penyelenggaraan pendidikan berjalan dengan baik.

Untuk itu Direktorat Tenaga Kependidikan melalui Subdit Penghargaan dan Perlindungan (Harlindung) khususnya seksi perlindungan sebagai pihak yang mempunyai tugas dan fungsi atas tenaga kependidikan memprogramkan advokasi hukum. Program advokasi hukum ini diberikan kepada tenaga kependidikan yang mempunyai permasalahan atau sengketa hukum yang berkaitan dengan tugas yang dijalankannya. Jadi, kalau tenaga kependidikan mempunyai permasalahan yang tidak ada kaitannya dengan tugas atau profesi, maka hal tersebut tidak dapat diberikan perlindungan. Bagaimana cara tenaga kependidikan mendapatkan bantuan hukum atau advokasi hukum? Disini tenaga kependidikan terlebih dahulu mengirim surat permohonan bantuan yang ditujukan kepada Direktur Tenaga Kependidikan, dengan membuat tulisan permasalahan yang dihadapi. Setiap surat permohonan bantuan hukum yang diterima akan dipelajari terlebih dahulu untuk menentukan kelayakan permohonan bantuan tersebut. Selanjutnya dari kelayakan permohonan bantuan bagi tenaga kependidikan maka Direktorat Tenaga Kependidikan menunjuk Lembaga Kajian Bantuan Hukum Independen (LKBHI) untuk memberi pedampingan advokasi hukum. Dari kasus yang telah ditangani oleh LKBHI, maka LKBHI wajib memberikan laporkan tertulis hasil pedampingan advokasi hukum tersebut.

Program perlindungan yang diciptakan oleh Subdit Penghargaan dan Perlindungan (Harlindung) merupakan suatu program yang terarah, tepat sasaran dan membawa dampak langsung bagi kepentingan tenaga kependidikan. Program ini semoga tersebar luas dikalangan tenaga kependidikan, karena kami menyadari banyak tenaga kependidikan yang belum mengetahui keberadaan program tersebut.
by :Adryanto