Senin, 13 Agustus 2007 -
oleh : Andi Kresna Jaya
www.unhas.ac.id
Kemarin saya berkunjung ke saudara saya yang anaknya di kelas dua sebuah sekolah dasar. Sewaktu kelas satu, pelajaran di kelas belum menggunakan model pengajaran tematik dan hasilnya luar biasa, rangking satu dari 42 orang. Sejak sebulan ini di kelas dua model pengajaran diubah menjadi model pengajaran tematik. Ternyata si anak kebingungan karena banyaknya topik dalam satu buku acuan yang harus dipelajari dalam satu waktu. Pengajaran tematik sendiri, menurut istri saya yang mengajar di sekolah internasional adalah memberikan seabrek kompetensi kepada siswa untuk sekali mengajar. Didalam buku acuan itu sendiri, memang jelas terlihat ada bacaan mengenai sikap gemar menabung, kemudian dihubungkan dengan konsep berhitung bilangan ratusan. Ada pula bacaan tentang ilmu pengetahuan alam. Secara umum definisi pengajaran tematik yang disampaikan istri saya itu benar. Hal yang mengejutkan karena sekolah istri saya justru menolak model pengajaran tematik ini, dengan alasan tidak mampu mengembangkan kompetensi siswa secara lebih baik dibandingkan dengan metode pengajaran koperatif yang dikembangkan di sekolah tersebut. Kembali ke anak saudara saya, pokoknya pengajaran tematik itu telah membuatnya menjadi bingung dan di rumah orang tuanya pun bingung membantunya belajar, karena sekali lagi buku acuan itu tidak didukung degan banyak contoh yang bisa memberi pemahaman bagi otak anak kelas dua. Mungkin perlu ditinjau pengajaran tematik ini, apakah perlu ada pengawaman metode ini ke guru-guru, atau perlu melengkapi fasilitas sekolah yang dapat merespon anak secara visualisasi konsep-konsep dalam buku acuan. Karena tujuan utama pengajaran tematik sendiri adalah guru sebagai fasiltator dan siswa belajar mandiri secara bersama tidak secara individual. Melihat tujuannya jadi ingat pelatihan SCL UNHAS yang budgetnya besar-besaran. Perlu mungkin pelatihan guru-guru untuk pengajaran tematik ini agar metode pengajarannya tidak membosankan dan membingungkan. Mengapa? Untuk siswa sebanyak 42 orang, mendapatkan mood mereka itu tidak gampang, perlu strategi khusus padahal waktu pengajaran satu mata pelajaran sangatlah singkat. Bayangkan saja jika mood mereka baru terfokus setelah 30 menit sungguh waktu mata pelajaran itu menjadi lebih singkat lagi, dan apakah dalam selang waktu itu materi pelajaran bisa kita transfer ke siswa. Oke, katakanlah mereka harus belajar mandiri, jiwa mereka adalah jiwa yang masih ingin bermain, mampukah dalam permainan yang mereka ciptakan di luar sekolah mengingatkan ereka bahwa ini yang dimaksud materi pelajaran tadi.

0 Comments:

Post a Comment